Senin, 03 Juni 2013

Thank You Allah

Namanya Satrio, Kawan. Dulu, di sekolah kami yang kabarnya SMA negeri tersohor di Kabupaten Magelang itu, dia adalah seorang bintang. Bintang kejora. Sempurna, adalah satu-satunya kata yang tepat untuk mendefinisikan performanya. Bagaimana tidak? Di bidang akademis, dia adalah juara bertahan kelas paralel angkatan kami. Dan sebagai seorang remaja, dia adalah salah satu yang mendapat tempat tersendiri di kalangan kaum hawa di sekolah kami.
            Aku pikir, seorang Satrio yang notabene juara bertahan kelas paralel di bidang akademis itu punya mimpi menyejajarkan dirinya seperti Barack Obama, Susilo Bambang Yudhoyono, atau Ahmadinedjad. Dan aku, aku mungkin boleh berbangga hati, sebab aku salah satu orang yang tahu mimpinya itu. Ya, pemain sepak bola, Kawan. Satrio bermimpi menjadi pemain sepak bola. Aku tidak meragukannya sama sekali. Aku tahu, dia punya skill untuk menjadi pemain depan. Di lapangan hijau, karismanya tampak dengan jelas. Yang aku lihat, dia tidak sedang menggiring bola. Tapi, menarikan tarian alam yang aku tak tahu pasti maknanya. Gerakan melingkarnya saat mengelabuhi lawan di depan kotak pinalti adalah klimaks yang selalu membuat kami, para penonton terpacu adrenalinnya. Sebab, itu menjadi pertanda bahwa tim yang kami dukung mati-matian itu, tak lama lagi akan membobol gawang lawan. Indah sekali.
            Tapi, kesempurnaan itu kini harus teruji. Lima hari sebelum Ramadhan tiba, kaki kanan Satrio cidera cukup parah. Sementara, seleksi Timnas akan dilaksanakan pertengahan Ramadhan karena tim ini akan segera dipersiapkan untuk berlaga di Piala AFF akhir tahun ini. Aku jadi ingat percakapanku dengan Satrio dulu saat masih SMA di kelas bagian belakang sambil memainkan laptop.
            ”Malam itu, Safee cidera. Pemain depan Malaysia putus asa. Keeper dan pemain belakangnya kehilanagn percaya diri. Konsentrasi pemain tengah buyar.” Kata Satrio saat membaca berita ”Indonesia Berjanji Kalahkan Malaysia di Bukit Djalil AFF Berikutnya” di laptopnya.
            ”Sebegitu pentingkah Safee untuk tim itu?” sambungku.
            ”Menurut pengamatanku, iya.”
            Aku hanya mengangguk. ”Menurutmu, aku bisa nggak masuk Timnas?” lanjutnya.
            ”Bisaaa..” jawabku, diiringi anggukan.
            ”Sebab aku ingin merasakan getaran yang hebat saat menyanyikan lagu Indonesia Raya kita di tengah stadion. Dan semangat yang memuncak saat mendengar gemuruh suara penonton meneriakkan, Indonesia! Indonesia!” Satrio menggebu-gebu. Kemudian dia menoleh ke arahku,”dan saat itu, kita benar-benar merasakan negara ini milik kita dan kita begitu mencintainya, Vio.” Mata Satrio berbinar, seperti ada Merah-Putih berkibar-kibar di matanya.
            Sejak itu aku tahu, bukan pesona luar yang membuat sahabatku ini istimewa. Tapi, mimpinya.
            Tak banyak yang bisa kulakukan untuk Satrio dan mimpinya itu. Menyuruh PSSI untuk mengundurkan jadwal seleksinya, jelas tak mungkin. Aku hanya bisa menemani Satrio terkulai lemas di ranjang rumah sakit sambil melewati awal Ramadhan ini. ”If you need a help, there is me for you.” Kupon yang pernah kujanjikan padanya. Dan dia, berhak menukarkan kupon itu padaku dalam waktu yang tak terhingga.
            Aku mencari-cari alasan mengapa Satrio harus menerima semua ini. Mimpi Satrio tinggal selangkah lagi. Tidak inginkah Allah menjadikan Satrio pemain Timnas yang mengharumkan nama bangsa? Bukankah itu termasuk jihad? Ah, tapi menerka-nerka rencana Allah, sama saja dengan mengerjakan soal matematika yang sama sekali tak ada rumusnya.
            ”Sat, itu makanannya kok ngga dimakan?” kataku, mencoba mengalihkan pikiranku.
            ”Kan Ramadhan.” jawabnya, lirih.
            ”Memangnya kamu puasa? Kamu kan lagi sakit, kamu berhak kok dapet dispensasi ngga puasa.” Aku tak tega melihat Satrio lemas begitu.
            ”Aku masih sanggup.” Satrio diam. Matanya menatap langit-langit. Menghelakan sedikit nafasnya kemudian melemparkan pandangannya ke arahku. ”Selama ini aku sudah terlalu jauh Vi. Jauh banget dari Allah. Aku selalu memecahkan semuanya dengan otak karena aku terlalu percaya diri bahwa aku bisa menyelesaikan semua masalahku tanpa campur tangan Allah. Dan ternyata aku salah.” Satrio melempar pandangannya ke langit-langit lagi. ”Aku ngga akan bisa ikut seleksi pemain timnas.” Untuk kali pertama aku melihat mata Satrio mengeluarkan air mata. Dan untuk kali pertama pula aku tahu bahwa selama ini yang tak pernah ada dari Satrio adalah Allah. Yang seharusnya bersemayam di dalam hatinya.
            Aku memegang pundak Satrio, ”Barangkali, Allah sedang ingin berbicara padamu tentang pahitnya perjuangan Sat. Atau Allah sedang ingin menunjukkan padamu akan kuasaNya. Yang tak mungkin bisa menjadi mungkin.” Aku tersenyum pada Satrio.

∗∗∗

            Akhirnya Satrio boleh dibawa pulang. Sudah dua hari ini Satrio di rumah. Dan seleksi timnas tinggal satu minggu lagi. Dan dia memaksakan diri untuk tetap ikut seleksi. Menyanyikan lagu Indonesia Raya sebelum akhirnya berjibaku mempertaruhkan nama bangsa, mengalahkan segala ketidakmungkinan yang menghantuinya.
             Malam itu, usai menunaikan salat tarawih Satrio memandang bintang-bintag di langit sambil merasakan kedamaian yang menjalar di semua sudut hatinya. Ia teringat pada gengsinya dulu meminta tolong kepada Allah. Ia tak pernah berdo’a. Dan malam itu, untuk kali pertama Satrio mencurahkan hatinya kepada Allah.
            ”Ya Allah, kalau sampai saya lolos menjadi pemain timnas, itu bukan semata-mata karena kehebatan saya. Tapi karena kuasa dan kasihMu.”

∗∗∗

            Tibalah hari pengumuman seleksi pemain timnas itu. Satrio sudah tak ingin melihat pengumuman. Tapi aku memaksanya.
            ”Sudahlah Vi, aku ngga mungkin lolos. Aku ngga akan frustasi dengan semua itu. Aku sudah mempersiapkan diri jauh-jauh hari. Aku sudah siap menerima kegagalanku.” Kata Satrio mencoba menolak ajakanku.
            ”Apa salahnya kita melihat pengumumanya. Ayolah!” aku menarik tanan Satrio masuk ruangan tempat pengumuman seleksi diumimkan.
            Belum sempat kami masuk, seseorang dari dalam ruangan keluar dan menyalami Satrio. ”Selamat Satrio, akmu lolos.” Orang itu tersenyum dan berlalu.
            ”Tuuu kan Sat.” Aku menepuk bahu Satrio, girang.
            ”Nggak mungkin. Orang tadi salah orang.” Satrio masih tidak percaya.
            Orang kedua keluar dengan raut muka kecewa. Melihat Satrio, ia pu mendekat.
            ”Anak saya tidak lolos, Nak. Tapi selamat, kamu lolos.” Satrio masih bengong tak percaya sambil menatap bapak tadi pergi.
            Karena penasaran, aku pun masuk sendiri untuk melihat kebenarannya. Tak lama kemudian aku berlari keluar sambil membawa kaos Timnas Garuda bernomor punggung tujuh untuk Satrio.
            ”Sat, kamu lolos! Ini seragam timnas untukmu!” teriakku saking bahagianya.
            Satrio pun berteriak bahagia, ”Aku loloooss!!!”, lalu merebut seragamnya dari tanganku. Ia berlari kemudian menghadap langit sambil melambai-lambaikan seragamnya lalu berteriak, ”Ya Allah, ini karena kuasaMu. Terima kasih Allah!”
            Aku tersenyum bahagia melihat sahabatku kembali menemukan binar matanya yang beberapa saat lalu hilang. Satrio kini menemukan kembali Merah-Putih yang selalu berkibar-kibar di matanya setiap kali mengungkapkan mimpinya dan dan deru cinta pada bangsa yang selalu meletup-letup dihatinya.
            ”Thank you Allah, thank you.” Satrio tak henti-hentinya mengatakan itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar