Namanya Satrio, Kawan. Dulu, di sekolah kami yang kabarnya SMA
negeri tersohor di Kabupaten Magelang itu, dia adalah seorang bintang. Bintang
kejora. Sempurna, adalah satu-satunya kata yang tepat untuk mendefinisikan
performanya. Bagaimana tidak? Di bidang akademis, dia adalah juara bertahan
kelas paralel angkatan kami. Dan sebagai seorang remaja, dia adalah salah satu
yang mendapat tempat tersendiri di kalangan kaum hawa di sekolah kami.
Aku pikir,
seorang Satrio yang notabene juara bertahan kelas paralel di bidang akademis
itu punya mimpi menyejajarkan dirinya seperti Barack Obama, Susilo Bambang
Yudhoyono, atau Ahmadinedjad. Dan aku, aku mungkin boleh berbangga hati, sebab
aku salah satu orang yang tahu mimpinya itu. Ya, pemain sepak bola, Kawan.
Satrio bermimpi menjadi pemain sepak bola. Aku tidak meragukannya sama sekali.
Aku tahu, dia punya skill untuk menjadi
pemain depan. Di lapangan hijau, karismanya tampak dengan jelas. Yang aku
lihat, dia tidak sedang menggiring bola. Tapi, menarikan tarian alam yang aku
tak tahu pasti maknanya. Gerakan melingkarnya saat mengelabuhi lawan di depan
kotak pinalti adalah klimaks yang selalu membuat kami, para penonton terpacu
adrenalinnya. Sebab, itu menjadi pertanda bahwa tim yang kami dukung
mati-matian itu, tak lama lagi akan membobol gawang lawan. Indah sekali.
Tapi,
kesempurnaan itu kini harus teruji. Lima hari sebelum Ramadhan tiba, kaki kanan
Satrio cidera cukup parah. Sementara, seleksi Timnas akan dilaksanakan
pertengahan Ramadhan karena tim ini akan segera dipersiapkan untuk berlaga di
Piala AFF akhir tahun ini. Aku jadi ingat percakapanku dengan Satrio dulu saat
masih SMA di kelas bagian belakang sambil memainkan laptop.
”Malam itu, Safee
cidera. Pemain depan Malaysia putus asa. Keeper dan pemain belakangnya
kehilanagn percaya diri. Konsentrasi pemain tengah buyar.” Kata Satrio saat
membaca berita ”Indonesia Berjanji Kalahkan Malaysia di Bukit Djalil AFF
Berikutnya” di laptopnya.
”Sebegitu
pentingkah Safee untuk tim itu?” sambungku.
”Menurut
pengamatanku, iya.”
Aku hanya
mengangguk. ”Menurutmu, aku bisa nggak masuk Timnas?” lanjutnya.
”Bisaaa..” jawabku,
diiringi anggukan.
”Sebab aku ingin
merasakan getaran yang hebat saat menyanyikan lagu Indonesia Raya kita di
tengah stadion. Dan semangat yang memuncak saat mendengar gemuruh suara
penonton meneriakkan, Indonesia! Indonesia!” Satrio menggebu-gebu. Kemudian dia
menoleh ke arahku,”dan saat itu, kita benar-benar merasakan negara ini milik
kita dan kita begitu mencintainya, Vio.” Mata Satrio berbinar, seperti ada
Merah-Putih berkibar-kibar di matanya.
Sejak itu aku
tahu, bukan pesona luar yang membuat sahabatku ini istimewa. Tapi, mimpinya.
Tak banyak yang
bisa kulakukan untuk Satrio dan mimpinya itu. Menyuruh PSSI untuk mengundurkan
jadwal seleksinya, jelas tak mungkin. Aku hanya bisa menemani Satrio terkulai
lemas di ranjang rumah sakit sambil melewati awal Ramadhan ini. ”If you need a
help, there is me for you.” Kupon yang pernah kujanjikan padanya. Dan dia,
berhak menukarkan kupon itu padaku dalam waktu yang tak terhingga.
Aku mencari-cari
alasan mengapa Satrio harus menerima semua ini. Mimpi Satrio tinggal selangkah
lagi. Tidak inginkah Allah menjadikan Satrio pemain Timnas yang mengharumkan
nama bangsa? Bukankah itu termasuk jihad? Ah, tapi menerka-nerka rencana Allah,
sama saja dengan mengerjakan soal matematika yang sama sekali tak ada rumusnya.
”Sat, itu
makanannya kok ngga dimakan?” kataku,
mencoba mengalihkan pikiranku.
”Kan Ramadhan.”
jawabnya, lirih.
”Memangnya kamu
puasa? Kamu kan lagi sakit, kamu berhak kok dapet dispensasi ngga puasa.” Aku tak tega melihat Satrio
lemas begitu.
”Aku masih
sanggup.” Satrio diam. Matanya menatap langit-langit. Menghelakan sedikit
nafasnya kemudian melemparkan pandangannya ke arahku. ”Selama ini aku sudah
terlalu jauh Vi. Jauh banget dari Allah. Aku selalu memecahkan semuanya dengan
otak karena aku terlalu percaya diri bahwa aku bisa menyelesaikan semua masalahku
tanpa campur tangan Allah. Dan ternyata aku salah.” Satrio melempar
pandangannya ke langit-langit lagi. ”Aku ngga akan bisa ikut seleksi pemain
timnas.” Untuk kali pertama aku melihat mata Satrio mengeluarkan air mata. Dan
untuk kali pertama pula aku tahu bahwa selama ini yang tak pernah ada dari
Satrio adalah Allah. Yang seharusnya bersemayam di dalam hatinya.
Aku memegang
pundak Satrio, ”Barangkali, Allah sedang ingin berbicara padamu tentang pahitnya
perjuangan Sat. Atau Allah sedang ingin menunjukkan padamu akan kuasaNya. Yang
tak mungkin bisa menjadi mungkin.” Aku tersenyum pada Satrio.
∗∗∗
Akhirnya Satrio
boleh dibawa pulang. Sudah dua hari ini Satrio di rumah. Dan seleksi timnas
tinggal satu minggu lagi. Dan dia memaksakan diri untuk tetap ikut seleksi.
Menyanyikan lagu Indonesia Raya sebelum akhirnya berjibaku mempertaruhkan nama
bangsa, mengalahkan segala ketidakmungkinan yang
menghantuinya.
Malam itu, usai menunaikan salat tarawih
Satrio memandang bintang-bintag di langit sambil merasakan kedamaian yang
menjalar di semua sudut hatinya. Ia teringat pada gengsinya dulu meminta tolong kepada Allah. Ia tak pernah berdo’a.
Dan malam itu, untuk kali pertama Satrio mencurahkan hatinya kepada Allah.
”Ya Allah, kalau
sampai saya lolos menjadi pemain timnas, itu bukan semata-mata karena kehebatan
saya. Tapi karena kuasa dan kasihMu.”
∗∗∗
Tibalah hari
pengumuman seleksi pemain timnas itu. Satrio sudah tak ingin melihat
pengumuman. Tapi aku memaksanya.
”Sudahlah Vi, aku
ngga mungkin lolos. Aku ngga akan
frustasi dengan semua itu. Aku sudah mempersiapkan diri jauh-jauh hari. Aku
sudah siap menerima kegagalanku.” Kata Satrio mencoba menolak ajakanku.
”Apa salahnya
kita melihat pengumumanya. Ayolah!” aku menarik tanan Satrio masuk ruangan
tempat pengumuman seleksi diumimkan.
Belum sempat kami
masuk, seseorang dari dalam ruangan keluar dan menyalami Satrio. ”Selamat
Satrio, akmu lolos.” Orang itu tersenyum dan berlalu.
”Tuuu kan Sat.”
Aku menepuk bahu Satrio, girang.
”Nggak mungkin.
Orang tadi salah orang.” Satrio masih tidak percaya.
Orang kedua
keluar dengan raut muka kecewa. Melihat Satrio, ia pu mendekat.
”Anak saya tidak
lolos, Nak. Tapi selamat, kamu lolos.” Satrio masih bengong tak percaya sambil
menatap bapak tadi pergi.
Karena penasaran,
aku pun masuk sendiri untuk melihat kebenarannya. Tak lama kemudian aku berlari
keluar sambil membawa kaos Timnas Garuda bernomor punggung tujuh untuk Satrio.
”Sat, kamu lolos!
Ini seragam timnas untukmu!” teriakku saking bahagianya.
Satrio pun
berteriak bahagia, ”Aku loloooss!!!”, lalu merebut seragamnya dari tanganku. Ia
berlari kemudian menghadap langit sambil melambai-lambaikan seragamnya lalu
berteriak, ”Ya Allah, ini karena kuasaMu. Terima kasih Allah!”
Aku tersenyum
bahagia melihat sahabatku kembali menemukan binar matanya yang beberapa saat lalu
hilang. Satrio kini menemukan kembali Merah-Putih yang selalu berkibar-kibar di
matanya setiap kali mengungkapkan mimpinya dan dan deru cinta pada bangsa yang
selalu meletup-letup dihatinya.
”Thank you Allah,
thank you.” Satrio tak henti-hentinya mengatakan itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar