”Adik temannya? Atau keluarganya?” tanya seorang suster yang baru
saja keluar dari Unit Gawat Darurat.
”Emm, bukan
keduanya Mbak. Maksud saya, saya hanya saksi mata ketika kecelakaan tadi
terjadi.” Jawab Sarah.
”Baiklah, kami
akan segera menghubungi keluarga korban. Akan tetapi, Adik jangan pergi dulu
ya! Tunggu sampai keluarga korban ada yang datang.” Suster itu melanjutkan.
”Baik Suster.”
Sarah mengangguk.
Sarah
menyandarkan tubuhnya pada kursi tunggu setelah suster tadi berlalu. Rambutnya
kering berantakan setelah seharian bergelut dengan terik matahari di Jalan
Pemuda. Memainkan kecrekannya,
menghampiri satu mobil ke mobil yang lain sambil menyanyikan sebuah lagu.
Mulutnya kering, bajunya lusuh.
Ya. Sarah
namanya. Seorang anak yatim, tinggal bersama ibunya yang seorang buruh cuci
baju. Tapi Sarah beruntung, masih bisa mengenyam pendidikan karena mendapat
beasiswa. Meski hidup dalam ketidaksempurnaan, Sarah tetap memegang teguh
prinsip bahwa dialah yang tetap harus melunakkan kehidupan, bukan kehidupan
yang melunakkannya.
Sarah
menggerakkan tangannya. Kecrekanku?
Uangku? Sarah ingat kecrekan dan uang
hasil mengamennya tertinggal di tepi jalan. Tadi Sarah buru-buru menolong
seorang anak laki-laki berseragam putih abu-abu yang kecelakaan. Seseorang yang
sedang terbaring di UGD saat ini.
Di saat yang
bersamaan, dari kejauhan tampak seorang wanita paruh baya berbaju kantoran yang
panik berjalan di belakang seorang suster menuju ke tempat Sarah kini bersandar.
Tanpa pikir panjang, Sarah berlari menyelinap menuju pintu keluar.
Bukan. Sarah
bukan ingin menghindari kedua wanita tadi. Ia hanya ingin segera menemukan dua
benda paling penting untuknya saat ini. Uang dalam botol hasil dari mengamen
dan kecrekannya.
Sarah tertunduk
lemas ketika ia hanya mendapati kecrekannya,
sementara uangnya hilang. Tak ada yang tahu betapa berharganya uang dalam botol
itu untuk Sarah. Sebulan sudah ia mati-matian berjuang di jalanan untuk
mengumpulkan uang itu, dan kini uang itu hilang tanpa sisa. Airmata Sarah
mengalir, semakin lama semaki deras. Ia menghadap ke langit tanpa peduli deru
mesin yang mengaung di telingannya.
”Allah tahu, uang
itu begitu berharga untuk Sarah?” Sarah merintih.
∗∗∗
Bulan suci
Ramadhan tinggal sebentar lagi. Sarah tak mungkin mengumpulkan uang dalam waktu
kurang dari satu minggu untuk membeli mukena. Sejak Ramadhan tahun lalu Sarah
ingin mukena yang baru. Tapi ibunya belum bisa membelikannya karena uang hasil kerjanya
hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari mereka.
Sarah memandangi
mukena putihnya yang telah memudar. Bukan hanya warnanya, ukurannya pun sudah
tidak pas lagi untuk menutupi seluruh tubuh Sarah. Saat salat, Sarah harus
berjuang untuk menutupi tumitnya agar tidak kelihatan.
”Sarah.” Ibu
Sarah mendekatinya.
Sarah hanya diam.
Hatinya terlampau kecewa. Betapa Ramadhan tahun ini ingin ia sambut dengan
penuh suka cita. Sederhana saja suka cita yang ingin Sarah rasakan itu. Ia
hanya ingin menghadap Allah dengan mukena yang bisa menutupi tumitnya. Sarah
hanya ingin menghadap Allah dengan rasa nyaman.
”Cah ayu, nanti ibu hutangkan mukena yang
baru di tokonya Mbak Umi. Sekarang nggak usah sedih lagi ya Nduk?” Ibu Sarah membelai rambut Sarah
dengan lembut.
”Sederhana saja
Bu permintaan Sarah untuk Allah. Sarah hanya ingin menjalankan salat dengan
nyaman Bu. Mukena Sarah sudah kecil untuk Sarah sekarang Bu.” Nada suara Sarah
sedikit merintih.
”Iya Nduk. Ibu
tahu. Sudah, sekarang Sarah tidur saja. Besok kan hari pertama Sarah di kelas
sembilan. Harus disambut dengan suka cita juga.” Ibu Sarah tersenyum. Sarah
membaringkan tubuhnya. Dengan hembusan nafas kekecewaannya, Sarah menutup
malamnya.
∗∗∗
Sarah menahan
langkahnya untuk masuk kamar usai pulang sekolah karena mendapati di meja tamu
terdapat sebuah kotak dengan amplop di atasnya. Sarah bergegas mendekatinya. Ia
mengangkat amplop itu dan membuka kotaknya. Sarah terkejut. Sebuah mukena putih
dengan renda warna ungu lengkap dengan sajadah dan tasbihnya. Namun untuk
meyakinkan jika kotak itu untuknya, Sarah pun membuka amplopnya.
Assalamualaikum
Sarah,
Sarah,
Mukena
dan sajadah ini untukmu. Untuk menemanimu menghadap Allah di bulan Ramadhan
nanti dan hari-hari setelahnya.
Terima
kasih Sarah, kamu sudah menolongku saat kecelakaan enam hari yang lalu.
Wassalam.
Adam
”Segala puji bagi
Allah. Terima kasih Ya Allah.” Sarah tak henti-hentinya mengucap syukur. Tak
lama kemudian Ibu Sarah muncul dari dapur.
”Maka nikmat
Tuhanmu yang manakah yang engkau dustakan. Rencana Allah selalu lebih indah, Nduk.” Ibu Sarah tersenyum.
”Jangan berhenti
menebar kebaikan dan selalu ikhlas ya Nduk!” Ibu Sarah membelai rambut Sarah
yang berada dalam pelukannya.
Sarah mengangguk.
Dengan kebahagiaan yang luar biasa Sarah meneriakkan ”Marhaban Ya Ramadhan”
dalam hatinya.
wahaha
BalasHapusitu tulisan jaman dulu banget, tapi baru tak pos.
BalasHapus