Senin, 03 Juni 2013

Mukena Putih Untuk Sarah

”Adik temannya? Atau keluarganya?” tanya seorang suster yang baru saja keluar dari Unit Gawat Darurat.
            ”Emm, bukan keduanya Mbak. Maksud saya, saya hanya saksi mata ketika kecelakaan tadi terjadi.” Jawab Sarah.
            ”Baiklah, kami akan segera menghubungi keluarga korban. Akan tetapi, Adik jangan pergi dulu ya! Tunggu sampai keluarga korban ada yang datang.” Suster itu melanjutkan.
            ”Baik Suster.” Sarah mengangguk.
            Sarah menyandarkan tubuhnya pada kursi tunggu setelah suster tadi berlalu. Rambutnya kering berantakan setelah seharian bergelut dengan terik matahari di Jalan Pemuda. Memainkan kecrekannya, menghampiri satu mobil ke mobil yang lain sambil menyanyikan sebuah lagu. Mulutnya kering, bajunya lusuh.
            Ya. Sarah namanya. Seorang anak yatim, tinggal bersama ibunya yang seorang buruh cuci baju. Tapi Sarah beruntung, masih bisa mengenyam pendidikan karena mendapat beasiswa. Meski hidup dalam ketidaksempurnaan, Sarah tetap memegang teguh prinsip bahwa dialah yang tetap harus melunakkan kehidupan, bukan kehidupan yang melunakkannya.
            Sarah menggerakkan tangannya. Kecrekanku? Uangku? Sarah ingat kecrekan dan uang hasil mengamennya tertinggal di tepi jalan. Tadi Sarah buru-buru menolong seorang anak laki-laki berseragam putih abu-abu yang kecelakaan. Seseorang yang sedang terbaring di UGD saat ini.
            Di saat yang bersamaan, dari kejauhan tampak seorang wanita paruh baya berbaju kantoran yang panik berjalan di belakang seorang suster menuju ke tempat Sarah kini bersandar. Tanpa pikir panjang, Sarah berlari menyelinap menuju pintu keluar.
            Bukan. Sarah bukan ingin menghindari kedua wanita tadi. Ia hanya ingin segera menemukan dua benda paling penting untuknya saat ini. Uang dalam botol hasil dari mengamen dan kecrekannya.
            Sarah tertunduk lemas ketika ia hanya mendapati kecrekannya, sementara uangnya hilang. Tak ada yang tahu betapa berharganya uang dalam botol itu untuk Sarah. Sebulan sudah ia mati-matian berjuang di jalanan untuk mengumpulkan uang itu, dan kini uang itu hilang tanpa sisa. Airmata Sarah mengalir, semakin lama semaki deras. Ia menghadap ke langit tanpa peduli deru mesin yang mengaung di telingannya.
            ”Allah tahu, uang itu begitu berharga untuk Sarah?” Sarah merintih.

∗∗∗

            Bulan suci Ramadhan tinggal sebentar lagi. Sarah tak mungkin mengumpulkan uang dalam waktu kurang dari satu minggu untuk membeli mukena. Sejak Ramadhan tahun lalu Sarah ingin mukena yang baru. Tapi ibunya belum bisa membelikannya karena uang hasil kerjanya hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari mereka.
            Sarah memandangi mukena putihnya yang telah memudar. Bukan hanya warnanya, ukurannya pun sudah tidak pas lagi untuk menutupi seluruh tubuh Sarah. Saat salat, Sarah harus berjuang untuk menutupi tumitnya agar tidak kelihatan.
            ”Sarah.” Ibu Sarah mendekatinya.
            Sarah hanya diam. Hatinya terlampau kecewa. Betapa Ramadhan tahun ini ingin ia sambut dengan penuh suka cita. Sederhana saja suka cita yang ingin Sarah rasakan itu. Ia hanya ingin menghadap Allah dengan mukena yang bisa menutupi tumitnya. Sarah hanya ingin menghadap Allah dengan rasa nyaman.
            Cah ayu, nanti ibu hutangkan mukena yang baru di tokonya Mbak Umi. Sekarang nggak usah sedih lagi ya Nduk?” Ibu Sarah membelai rambut Sarah dengan lembut.
            ”Sederhana saja Bu permintaan Sarah untuk Allah. Sarah hanya ingin menjalankan salat dengan nyaman Bu. Mukena Sarah sudah kecil untuk Sarah sekarang Bu.” Nada suara Sarah sedikit merintih.
            ”Iya Nduk. Ibu tahu. Sudah, sekarang Sarah tidur saja. Besok kan hari pertama Sarah di kelas sembilan. Harus disambut dengan suka cita juga.” Ibu Sarah tersenyum. Sarah membaringkan tubuhnya. Dengan hembusan nafas kekecewaannya, Sarah menutup malamnya.

∗∗∗

            Sarah menahan langkahnya untuk masuk kamar usai pulang sekolah karena mendapati di meja tamu terdapat sebuah kotak dengan amplop di atasnya. Sarah bergegas mendekatinya. Ia mengangkat amplop itu dan membuka kotaknya. Sarah terkejut. Sebuah mukena putih dengan renda warna ungu lengkap dengan sajadah dan tasbihnya. Namun untuk meyakinkan jika kotak itu untuknya, Sarah pun membuka amplopnya.
           
            Assalamualaikum Sarah,
          Sarah,
          Mukena dan sajadah ini untukmu. Untuk menemanimu menghadap Allah di bulan Ramadhan nanti dan hari-hari setelahnya.
          Terima kasih Sarah, kamu sudah menolongku saat kecelakaan enam hari yang lalu.
          Wassalam.

                                                                                                Adam

            ”Segala puji bagi Allah. Terima kasih Ya Allah.” Sarah tak henti-hentinya mengucap syukur. Tak lama kemudian Ibu Sarah muncul dari dapur.
            ”Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang engkau dustakan. Rencana Allah selalu lebih indah, Nduk.” Ibu Sarah tersenyum.
            Sarah memeluk ibunya, ”iya Bu.”
            ”Jangan berhenti menebar kebaikan dan selalu ikhlas ya Nduk!” Ibu Sarah membelai rambut Sarah yang berada dalam pelukannya.
            Sarah mengangguk. Dengan kebahagiaan yang luar biasa Sarah meneriakkan ”Marhaban Ya Ramadhan” dalam hatinya.

2 komentar: