Sabtu, 20 Juli 2013

Who is Devi? This is I am!: Aku Lahir Kembali

Who is Devi? This is I am!: Aku Lahir Kembali: Bagaimana rasanya bila sehabis bangun tidur, kamu seperti baru saja bertemu udara untuk pertama kalinya. Kau rasakan betapa udara itu masuk...

Aku Lahir Kembali

Bagaimana rasanya bila sehabis bangun tidur, kamu seperti baru saja bertemu udara untuk pertama kalinya. Kau rasakan betapa udara itu masuk melalui sekat sekat sel dalam dirimu dan ia membantu memompa aliran darahmu. Dan kau menjadi hidup. Hari itu, kau seperti...seperti hidup kembali.

Namaku Devi,  yang dulu punya banyak mimpi. Banyak orang mengatakan hal itu. Devi Sang Pemimpi. Aku penuh semangat dan percaya diri. Semua karena keyakinan di daalam hatiku, bahwa aku akan menggapai mimpi. Semangat tak terpatahkan meletup-letup di dalam hatiku. Dulu.

Aku sempat lupa letupan-letupan yang bergemuruh di dalam hatiku itu. Hal buruk terjadi dalam hidupku dan merenggut semuanya, termasuk mimpi dan semangatku.

Hari ini aku lahir baru. Entah karena apa.
Aku kembali merasakan segar udara masuk sekat otakku, mengalir pelan bersama desiran darahku, dan mendenyutkan halus jantungku. Hari ini, kutemukan lagi diriku. Aku, yang telah lama hilang. Entah kemana.

Aku kembali punya mimpi.
Aku punya mimpi lagi. Dan aku jatuh cinta. Jatuh cinta pada mimpiku itu.Karena itu aku bahagia, aku bahagia bertemu lagi dengan diriku yang dulu.

Allah, terima kasih. Aku jatuh cita lagi pada mimpi-mimpiku.

Rabu, 10 Juli 2013

Dari Sebuah Film

Aku tak pernah bilang padamu,
seberapa takut aku akan kegelapan, Ma
Aku tak pernah bilang padamu,
seberapa sayang aku padamu, Ma

Tapi kau tahu kan, Ma?
Kau pasti tahu semuanya

Jangan tinggalkan aku sendirian
dalam keramaian
aku kehilangan jalan pulangku
Jangan buang aku ke tempat yang jauh

Teere Zameen Par

Minggu, 07 Juli 2013

Perih

perih..
bukankah sering kau merasakkannya
sedih, sepi seperti ini sudah biasa
bukankah kau bisa melewatinya?

usahlah menangis
kau sudah terlamapu sering melakukannya
bukankah usai tangis ada tawa
kau sudah melaluinya

lalu biarkan hatimu
bukankah dia terlalu kuat?
kau bahkan tak menyangka
bila semuanya sudah biasa
tak usah kau sedih
hatimu sudah biasa

Tentang Seseorang

seseorang bernama khas Jawa
aku bersyukur, kita telah berjumpa

bagaimana?

akh, memang tak perlu saling memberi kabar
hanya menyapa saja saat bertatap
sudah cukup
hanya tersenyum saja
sudah cukup

seseorang dengan senyum yang indah
tak perlu dekat
kau sudah melekat

hai, aku cukup berdiri di balik punggungmu
untuk menikmati rasa untukmu dengan sederhana

Selasa, 02 Juli 2013

Suatu Sore di Parangtritis

Senja baru saja berlalu
Ombak bergulung-gulung
dihadapanku..
atas kehadirannya itu,
aku ingin berlari mendekat,
lalu lari menjauh saat ia mengejarku
Ombak itu menyuarakan suara
suara alam yang indah

andai kau ada bersamaku..
Ibu

Sebuah Puisi

Gila
apa tak masuk akal
telah masuk ke otakku
lewat saraf ini

saraf yang selalu kaku
saat dan setelah melihatmu

Sabtu, 29 Juni 2013

Suatu Sore

Senja warna jingga hadir tepat dihadapannya
warna jingganya tepat berada di batas langit
aroma ketenangan menyeruak.
Tak lama kemudian,
sekawanan burung terbang dari sebuah pohon
Memutar seirama, menjadi pelengkap
indahya warna jingga
Dia tidak tahu mengapa menyukai semua itu
Tak tahu
Dia menyukai sore seperti itu,
hanya itu yang dia tahu
sore itu tak pernah diketahuinya,
hatinya telah jatuh,
jatuh cinta..

*buat seseorang yang tiada berani kusebut namanya.

Senin, 03 Juni 2013

Untuk Kawanku XI IPA 1 (2011)



Kemarin, kau masih disini,
Bersandar di pundakku dan bercanda dengan masa tua kita,
Menebak-nebak masa depan kita,
         
Kemarin, kita berada di tempat yang sangat indah,
Kau mengajakku belajar,
Belajar untuk hidup,
Belakangan baru aku sadar,
Tempat itu jauh dari kesan indah, kawan
Tempat itu sederhana, bahkan hanya biasa saja
Tempat itu kurasakan begitu indah karena kehadiranmu,

          Hari ini, kusempatkan lagi menatap tempat itu,
          Berharap menemukan siluet dan tawamu disana,
          Tapi jejakmu telah melangkah,
          Mengiringi waktu dan merakup mimpi
          Seperti yang kau ceritakan waktu itu,
          Hari ini, kau telah memulai jejakmu
          Berlari dan menepati janji,
          Janjimu pada hidup dan dirimu sendiri,
          Dan aku bangga, aku selalu bangga padamu, kawan...

          Bait ini kutulis untukmu,
          Hanya untukmu,
          Hanya jika nanti, kau tak lagi hadir di hari tuaku,
          Dan bila nanti, aku tak sanggup lagi menjagamu,
          Bila nanti aku sangat lelah, terlelap dan tak bangun lagi,
          Maka biarkan aku menjaga nama dan senyummu yang berharga,
          Untuk menemani hari-hariku yang sulit
Untuk menguatkanku, bila nanti satu per satu kepingan hidupku mulai memudar...

Kawan
Terimakasih...
Untuk senyum dan kesabaranmu yang tulus
Menuntunku menjadi manusia yang tangguh,
Kini,
Melangkahlah Kawan,
Berlari, terus berlari kawan,
Melangkahlah yang jauh, dan jadilah yang paling tangguh,
Saat kau temukan hidupmu nanti, berlarilah lagi mendekapku
Tunjukkan kesombonganmu, bawa semua hartamu!
Karena aku selalu menunggumu,
Ku tunggu kedatanganmu kawan,
Di gerbang kesuksesan....

Mukena Putih Untuk Sarah

”Adik temannya? Atau keluarganya?” tanya seorang suster yang baru saja keluar dari Unit Gawat Darurat.
            ”Emm, bukan keduanya Mbak. Maksud saya, saya hanya saksi mata ketika kecelakaan tadi terjadi.” Jawab Sarah.
            ”Baiklah, kami akan segera menghubungi keluarga korban. Akan tetapi, Adik jangan pergi dulu ya! Tunggu sampai keluarga korban ada yang datang.” Suster itu melanjutkan.
            ”Baik Suster.” Sarah mengangguk.
            Sarah menyandarkan tubuhnya pada kursi tunggu setelah suster tadi berlalu. Rambutnya kering berantakan setelah seharian bergelut dengan terik matahari di Jalan Pemuda. Memainkan kecrekannya, menghampiri satu mobil ke mobil yang lain sambil menyanyikan sebuah lagu. Mulutnya kering, bajunya lusuh.
            Ya. Sarah namanya. Seorang anak yatim, tinggal bersama ibunya yang seorang buruh cuci baju. Tapi Sarah beruntung, masih bisa mengenyam pendidikan karena mendapat beasiswa. Meski hidup dalam ketidaksempurnaan, Sarah tetap memegang teguh prinsip bahwa dialah yang tetap harus melunakkan kehidupan, bukan kehidupan yang melunakkannya.
            Sarah menggerakkan tangannya. Kecrekanku? Uangku? Sarah ingat kecrekan dan uang hasil mengamennya tertinggal di tepi jalan. Tadi Sarah buru-buru menolong seorang anak laki-laki berseragam putih abu-abu yang kecelakaan. Seseorang yang sedang terbaring di UGD saat ini.
            Di saat yang bersamaan, dari kejauhan tampak seorang wanita paruh baya berbaju kantoran yang panik berjalan di belakang seorang suster menuju ke tempat Sarah kini bersandar. Tanpa pikir panjang, Sarah berlari menyelinap menuju pintu keluar.
            Bukan. Sarah bukan ingin menghindari kedua wanita tadi. Ia hanya ingin segera menemukan dua benda paling penting untuknya saat ini. Uang dalam botol hasil dari mengamen dan kecrekannya.
            Sarah tertunduk lemas ketika ia hanya mendapati kecrekannya, sementara uangnya hilang. Tak ada yang tahu betapa berharganya uang dalam botol itu untuk Sarah. Sebulan sudah ia mati-matian berjuang di jalanan untuk mengumpulkan uang itu, dan kini uang itu hilang tanpa sisa. Airmata Sarah mengalir, semakin lama semaki deras. Ia menghadap ke langit tanpa peduli deru mesin yang mengaung di telingannya.
            ”Allah tahu, uang itu begitu berharga untuk Sarah?” Sarah merintih.

∗∗∗

            Bulan suci Ramadhan tinggal sebentar lagi. Sarah tak mungkin mengumpulkan uang dalam waktu kurang dari satu minggu untuk membeli mukena. Sejak Ramadhan tahun lalu Sarah ingin mukena yang baru. Tapi ibunya belum bisa membelikannya karena uang hasil kerjanya hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari mereka.
            Sarah memandangi mukena putihnya yang telah memudar. Bukan hanya warnanya, ukurannya pun sudah tidak pas lagi untuk menutupi seluruh tubuh Sarah. Saat salat, Sarah harus berjuang untuk menutupi tumitnya agar tidak kelihatan.
            ”Sarah.” Ibu Sarah mendekatinya.
            Sarah hanya diam. Hatinya terlampau kecewa. Betapa Ramadhan tahun ini ingin ia sambut dengan penuh suka cita. Sederhana saja suka cita yang ingin Sarah rasakan itu. Ia hanya ingin menghadap Allah dengan mukena yang bisa menutupi tumitnya. Sarah hanya ingin menghadap Allah dengan rasa nyaman.
            Cah ayu, nanti ibu hutangkan mukena yang baru di tokonya Mbak Umi. Sekarang nggak usah sedih lagi ya Nduk?” Ibu Sarah membelai rambut Sarah dengan lembut.
            ”Sederhana saja Bu permintaan Sarah untuk Allah. Sarah hanya ingin menjalankan salat dengan nyaman Bu. Mukena Sarah sudah kecil untuk Sarah sekarang Bu.” Nada suara Sarah sedikit merintih.
            ”Iya Nduk. Ibu tahu. Sudah, sekarang Sarah tidur saja. Besok kan hari pertama Sarah di kelas sembilan. Harus disambut dengan suka cita juga.” Ibu Sarah tersenyum. Sarah membaringkan tubuhnya. Dengan hembusan nafas kekecewaannya, Sarah menutup malamnya.

∗∗∗

            Sarah menahan langkahnya untuk masuk kamar usai pulang sekolah karena mendapati di meja tamu terdapat sebuah kotak dengan amplop di atasnya. Sarah bergegas mendekatinya. Ia mengangkat amplop itu dan membuka kotaknya. Sarah terkejut. Sebuah mukena putih dengan renda warna ungu lengkap dengan sajadah dan tasbihnya. Namun untuk meyakinkan jika kotak itu untuknya, Sarah pun membuka amplopnya.
           
            Assalamualaikum Sarah,
          Sarah,
          Mukena dan sajadah ini untukmu. Untuk menemanimu menghadap Allah di bulan Ramadhan nanti dan hari-hari setelahnya.
          Terima kasih Sarah, kamu sudah menolongku saat kecelakaan enam hari yang lalu.
          Wassalam.

                                                                                                Adam

            ”Segala puji bagi Allah. Terima kasih Ya Allah.” Sarah tak henti-hentinya mengucap syukur. Tak lama kemudian Ibu Sarah muncul dari dapur.
            ”Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang engkau dustakan. Rencana Allah selalu lebih indah, Nduk.” Ibu Sarah tersenyum.
            Sarah memeluk ibunya, ”iya Bu.”
            ”Jangan berhenti menebar kebaikan dan selalu ikhlas ya Nduk!” Ibu Sarah membelai rambut Sarah yang berada dalam pelukannya.
            Sarah mengangguk. Dengan kebahagiaan yang luar biasa Sarah meneriakkan ”Marhaban Ya Ramadhan” dalam hatinya.

Teman Lama

Masih kuingat betul kali pertama aku bertemu dengannya. Awal Juni tujuh tahun yang lalu. Sejauh yang kuingat, dia adalah sahabat yang sangat menyenangkan. Dia pribadi yang sangat istimewa. Dia berbeda dari teman-teman lelakiku kebanyakan, sesuai dengan namanya, Furqon.
Aku suka sekali menyanyi. Karena itu, aku bergabung dengan group vocal sekolah. Bahkan tak jarang, aku ikut ngeband bersama teman-temanku yang tentu saja mayoritas laki-laki. Aku juga tahu betul Furqon memiliki suara yang sangat merdu. Apabila tiba waktu salat dzuhur dan salat Jum’at Furqon lah yang pasti jadi muazinnya. Istimewanya, tak ada yang jenuh mendengar seruan azan Furqon. Merdu, mendayu-dayu seakan menyeru kepada seluruh alam, melengking, merasuk sampai ke urat nadi. Sempurna sekali. Berangkat dari perbedaan itulah Furqon mengajarkanku sesuatu.
”Sarah,” Furqon membuka pembicaraan kami siang itu usai mengerjakan tugas Bahasa Inggris di perpustakaan sekolah.
”Ya.” Jawabku.
”Kamu bisa tilawah?” Tanya Furqon.
Aku bengong. Tilawah? Sejurus kemudian aku pun menggeleng.
Furqon tersenyum, ”sayang sekali, padahal suara kamu merdu lho!”
”Sulit Furqon.” Kataku, datar.
”O, ya? Tapi kamu mau belajar tilawah?”
”Ha? Emmmmm…”
”Aku punya sepupu perempuan namanya Anisa, kalau soal tilawah, dia jagonya. Kalau kamu mau, aku kenalkan deh. Terus kamu bisa belajar tilawah sama dia.” Furqon membujukku.
Begitulah awalnya. Furqon mengenalkan aku dengan Anisa hingga kami pun menjadi sahabat. Aku menjadi lebih sering berlatih tilawah bersama Anisa daripada ngeband bersama teman-temanku. Walau awalnya aku jadi dicuekin sama mereka, tapi toh akhirnya aku lebih nyaman seperti ini.
Dengan kemampuanku yang mulai bisa tilawah, Furqon sering mengajakku ke pengajian dengan anak-anak Rohis dan mengisi bagian acara gema wahyu illahi. Furqon yang memang sudah istimewa menjadi lebih istimewa lagi di hati ini. Tapi, aku tak pernah menunjukkan kekagumanku padanya. Aku tahu, Furqon sangat menjunjung pergaulan secara islami. Ya, aku sangat mengaguminya. Bahkan hingga detik ini.
Sore itu, aku ke rumah Anisa untuk belajar tilawah. Tak seperti biasanya, Anisa sore itu sudah menungguku di teras rumahnya.
”Assalamu’alaikum.”
”Walaikumsalam.” Jawab Anisa.
”Tumben kamu nungguin aku di teras Nis?” tanyaku.
”Iya. Furqon dan keluarganya baru saja dari sini. Sekarang mereka sudah berangkat.” Kata Anisa
”Berangkat? Berangkat kemana Nis?”
”Kalimantan Sar. Ayah Furqon dipindahkerjakan.”
Aku terperangah kaget dengan yang dikatakan Anisa barusan.
” Emm, tapi tenang saja Sar, walaupun Furqon nggak pamit sama kamu tapi dia nitip sesuatu kok buat kamu. Ini.” Anisa menambil bingkisan tebal dan di atasnya ada sepucuk surat. Aku menerima bingkisan itu dan membacanya.
Assalamu’alaikum,
Sarah, afwan ya tidak sempat pamit. Aku ikut ayah pindah ke Kalimantan.
Al Qur’an ini untukmu, untuk menemanimu belajar tilawah.
Wassalammu’alaikum.
Hanya itu. Aku sedih sekali. Dan semakin sedih lagi manakala aku merasa kehilangan Furqon di hari-hari setelah itu. Sahabatku, sahabat yang amat kukagumi.
Sudah tujuh tahun berlalu sejak perpisahan itu aku tak pernah mendengar kabar apapun tentang Furqon. Sementara sampai saat ini aku masih memendam perasaan padanya. Mungkin dia sekarang sudah sukses, atau mugkin sudah menikah. Entahlah, aku sendiri sungkan menanyakan hal itu pada Anisa. Hingga suatu hari,
”Sarah, besok Ahad kamu diminta tilawahan.” Kata ibu usai salat maghrib.
”Di tempat siapa Bu?”
”Kamu lihat sendiri saja, undangannya ibu taruh di kamar kamu.”
Aku bergegas menuju ke kamar. Ibu menaruh undangan pernikahan itu beserta sebuah amplop tepat di atas Al Qur’an pemberian Furqon yang kutaruh di meja kerjaku. Sebelum membuka undangan pernikahan, aku terlebih dahulu membaca sepucuk surat itu.
Assalamu’alaikum
Sarah, aku yang memintamu untuk tilawahan di acara walimahanku Ahad depan.
Aku sudah lama tidak mendengar kamu tilawahan.
Furqon
Wassalamu’alaikum.
Aku lemas. Jadi Allah tak pernah menjodohkanku dengan Furqon? Aku tak bisa menjelaskan apa yang aku rasakan. Aku memeluk Al Qur’an pemberian Furqon dulu sambil menatap ke luar jendela.
SELESAI