Selasa, 28 Mei 2013

Tak Sampai

Aku tak tahu kapan sore yang biasanya berhias langit keemasan di batasnya berubah menjadi mendung tak terbendung. Keemasan berubah menjadi gelap. Waktu masih menunjukkan pukul lima sore tapi matahari seolah telah dilampaui bumi bagian khatulistiwa ini.
            Dalam sejarah hidupku orang bilang hatiku ini baja. Tahan banting. Sebagai seorang perempuan jarang sekali aku menangis saat diterpa masalah. Tapi satu hal membuktikan bahwa ternyata hatiku ini juga sama-sama terbuat dari gumpalan darah. Bukan dari baja. Seperti sore ini, airmataku mengalir semakin deras diiringi rasa sakit yang menyesakkan di bagian dada. Sakit, sakit sekali. Hanya itu yang bisa aku jelaskan. Beginikah rasanya memendam perasaan pada seseorang dan hanya bisa memendamnya sampai kapanpun?
            Namanya Willy. Adalah teman sekelasku. Aku tak tahu apa yang membuat dia istimewa. Tapi untukku dia istimewa. Dia srampangan. Cuek. Sangat berantakan. Tapi entahlah. Ada semacam rasa yang tak bisa aku jelaskan saat melihat dia. Mungkin memang benar, hal yang orang sering sebut cinta itu tak ada logikannya. Aku tak tahu. Sama sekali tak tahu kenapa? Dan mengapa Willy. Aku hanya mmengikuti perasaan ini. Dan sampai saat ini aku masih belum tahu mengapa? dan kenapa? Aku menangis dan tertawa karena Willy. Aku menyukai Willy dengan ketidaktahuanku.
            Tiga tahun dia menjadi tempatku berkeluh kesah tentang apapun kecuali cinta. Ya, kami sering membicarakan film, pelajaran, politik, guru dan semuanya tapi kami tak pernah membicarakan cinta. Aku tak tahu Willy menyukai siapa tapi lebih tepatnya aku tidak mau tahu.
            ”Ver, tiga paket soal ludes.” Willy sedikit membanting kumpulan soal kimia utuk persiapan ujian nasional di mejaku. Aku dan Willy bertaruh mengerjakan kumpulan soal setiap malam. Siapa yang paling banyak dia yang menang. Dan yang kalah membelikan es teh di Bu Mul. Ibu kantin sekolah kami.
            ”Serius? Masih bolong-bolong kali.” Tapi aku senang kau melakukan itu.
            ”Kamu yang bolong-bolong. Mana? Katanya mau tiga paket sekaligus. Ternyata belum selesai kan?” Willy tersenyum puas.
            ”Willy, aku kan bukan robot.” Aku berusaha membela diri.
            ”Dalam taruhan tak ada toleransi apapun.” Penuh penekanan.
            ”Oke aku kalah.” Aku menyerah.
            Willy tergelak, ”Semangat dong Ver. Ujian tinggal bentar lagi. Habis itu selesai. Masa-masa sekolah juga selesai.”
            Selesai? Iya benar Wil. Semua ini akan segera berakhir. Aku tersenyum kecut.
            Willy kembali tergelak, ”Ditunggu es tehnya.” Willy kembali mengambil buku kumpulan soalnya dan meninggalkanku. Mataku masih terus memandangi punggung itu hingga menghilang di balik pintu.
            Airmataku masih saja tak kunjung berhenti mengalir. Sebuah tiket kereta ke Bogor kupandangi lekat-lekat. Disana cerita baru telah menanti. Teman baru. Dosen baru. Lingkungan baru. Kuliah. Aku akan meninggalkan kota ini dan... semua kenangannya.
***
”Vera.” Willy duduk diampingku. Siang itu aula tempat wasana warsa digelar sudah hilang hiruk pikuknya. Hanya tinggal dua tukang kebun sekolah yang sedang membersihkan sisa-sisa snack dan kardus makan siang. Aku masih duduk di tempat yang masih sama sejak pagi tadi.
            ”Udah wisuda aja nih. Udah nggak putih abu-abu lagi setelah ini.” Aku mencoba tersenyum sambil memandang kosong ke bagian banner di depanku bertuliskan ”Selamat Jalan Siswa-Siswi SMA Bhakti Nusa. Selamat melanjutkan langkahmu.”
            ”Ya nggak papa. Berat ya Ver?” Willy bertanya seolah pertanyaan itu tidak membebaniku sama sekali.
            ”Terkadang kita memang harus merasa berat Wil. Kita lama disini. Kita besar disini. Kita...” aku tak punya kalimat yang tepat untuk melanjutkan. Aku menunduk.
            ”Hanya tempatnya yang akan berbeda Ver. Kita pasti masih akan tetap berteman.”
            ”Sampai kapan?” tanyaku.
            ”Selamanya.” aku menatap Willy. Kosong.
            ”Selamanya?” aku mengeja kata itu.
            ”Sampai kakek nenek.” Willy tergelak,”sepuluh tahun lagi saat kita bertemu lagi pasti kamu udah punya anak ya?” Willy bahagia sekali bertanya seperti itu.
            ”Mungkin.” Aku memaksa tersenyum. Tapi dalam hatiku menolak. Aku tak tahu apa yang akan terjadi di masa depan Wil. Aku hanya ingin tetap begini saat ini. Ada kamu di setiap hariku. Aku tak  pernah berpikir nanti akan seperti apa.
            ”Katanya kamu mau ngasih aku sesuatu? Apa?”
            ”Aku belum menyelesaikannya. Beberapa hari lagi ya?”
            ”Emang apaan sih?”
            Aku hanya tersenyum. Diary, Wil. Satu-satunya teman dimana aku bisa berkisah tentang kamu. Tentang kamu yang setiap saat hadir. Bahkan di soal-soal kimiaku. Saat ujian coba dan aku tidak satu ruang denganmu. Saat kita menghabiskan sore bersama di sekolah demi sebuah tugas. Saat aku tak bisa menjelaskan apapun kecuali namamu.
            Siang itu menjadi semakin berat untukku. Bagaimana selama tiga tahun kita berteman aku mencoba menyimpan rapat-rapat perasaanku agar tidak merusak persahabatan kita. Agar aku masih bisa bersamamu. Aku merelakan rasa sakit itu kadang-kadang hadir karena ternyata bukan aku saja yang menyukaimu. Tapi hingga hari ini aku masih tak tahu apakah aku harus menyampaikan pesan dari dalam hatiku itu atau menyimpannya selamanya. Wil, seharusnya kita tak pernah bertemu.
***
            ”Ver, bisa kita bicara?” Titis menarikku ke dekat taman sekolah. Rupanya dia ingin membicarakan sesuatu yang penting.
            Titis memegang tanganku,”Ver, aku tahu tentang perasaanmu ke Willy. Kamu kuat banget Ver bisa menyimpan perasaan itu. Tapi sekarang saatnya kamu mengakhiri itu semua tanpa harus Willy tahu tentang perasaanmu Ver. Lupakan Willy, kamu akan sakit.”
            Aku hanya menatap Titis, bingung.
            ”Aku tahu itu sulit Ver. Sebagai sahabatmu aku nggak mau lihat kamu hancur. Aku sayang kamu Ver. Aku tahu kamu tulus. Tapi hati kamu tidak seharusnya sakit. Selamatkan hati kamu dari bumerang itu Ver. Caranya lupain Willy. Lupakan perasaan kamu.” Kali ini Titis memelukku. Aku tidak menangis tapi hatiku sesak dan sakit.
            ”Ver..”
            ”Ya.” Suaraku parau.
            ”Kamu dan Willy akan berpisah setelah ini. Aku senang karena hal itu akan memudahkanmu untuk melupakan Willy. Baiklah, mungkin memang tidak mudah, tapi setidaknya kamu nggak akan melihat dia lagi. Aku yakin itu akan membuat hatimu lebih baik.”
            Aku melepaskan pelukan Titis,”entahlah.” Aku tertunduk, sakit.
            ”Kenapa harus begitu?” aku melanjutkan dengan suara pelan.
            ”Tika, Ver. Willy bakalan sama Tika. Yang Willy sukai selama ini Tika. Itulah kenapa aku minta dari dulu kamu jauhi Willy. Karena kamu bakalan sakit.” Titis memegang pundakku dan memohon.
            Pertahananku runtuh seketika. Kali ini aku menangis karena dinding pertahananku memang sudah hancur. Aku tak tahu sakit macam apa yang aku rasakan saat itu. Tapi aku ingin seketika tertidur dan bangun dengan tak ingat apa-apa lagi. Karena aku tak kuat menahan sakitnya.
***
            Akhirnya diary ini menemukan nasibnya. Dia tidak akan sampai pada seseorang yang seharusnya memilikinya. Pada akhirnya memang tak ada lagi kabar dari Willy. Aku juga tidak mencoba untuk menghubunginya. Rasanya memang ada yang hilang. Tapi aku telah memutuskan untuk tidak melanjutkan diary ini. Mungkin pesan di dalamnya akan lapuk suatu hari nanti. Tapi aku harus bersikap tegas pada hatiku meskipun itu berarti aku menyakitinya. Ya, aku juga berperan dalam kesakitan ini.
            Pada akhirnya aku telah menyukai seseorang selama tiga tahun lamanya dan tidak pernah aku ungkapkan. Itu menyakitkan. Tapi aku telah memilih begitu. Bila Willy mengatakan bahwa suatu saat kami akan bertemu lagi, aku berharap sampai kapanpun aku tidak akan pernah bertemu dengannya lagi. Aku merelakan dia datang ke dalam hidupku dan kemudian pergi meninggalkan luka. Tapi aku tak mau sakit dengan melihatnya lagi suatu hari.
            Kereta ke Bogor telah melaju kencang. Yoyakarta telah beberapa jam yang lalu aku tinggalkan. Sebuah pesan masuk ke ponselku.
            Terima kasih untuk persahabatan kita selama ini.
            Terpampang jelas di sudut paling atas ponselku tertera nama Willy. Aku menutup pesanku tanpa kata reply. Terima kasih telah membuatku belajar mencintai.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar