Aku tak tahu
kapan sore yang biasanya berhias langit keemasan di batasnya berubah menjadi
mendung tak terbendung. Keemasan berubah menjadi gelap. Waktu masih menunjukkan
pukul lima sore tapi matahari seolah telah dilampaui bumi bagian khatulistiwa
ini.
Dalam sejarah hidupku orang bilang
hatiku ini baja. Tahan banting. Sebagai seorang perempuan jarang sekali aku
menangis saat diterpa masalah. Tapi satu hal membuktikan bahwa ternyata hatiku
ini juga sama-sama terbuat dari gumpalan darah. Bukan dari baja. Seperti sore
ini, airmataku mengalir semakin deras diiringi rasa sakit yang menyesakkan di
bagian dada. Sakit, sakit sekali. Hanya itu yang bisa aku jelaskan. Beginikah
rasanya memendam perasaan pada seseorang dan hanya bisa memendamnya sampai
kapanpun?
Namanya Willy. Adalah teman
sekelasku. Aku tak tahu apa yang membuat dia istimewa. Tapi untukku dia
istimewa. Dia srampangan. Cuek. Sangat berantakan. Tapi entahlah. Ada semacam
rasa yang tak bisa aku jelaskan saat melihat dia. Mungkin memang benar, hal
yang orang sering sebut cinta itu tak ada logikannya. Aku tak tahu. Sama sekali
tak tahu kenapa? Dan mengapa Willy. Aku hanya mmengikuti perasaan ini. Dan
sampai saat ini aku masih belum tahu mengapa? dan kenapa? Aku menangis dan
tertawa karena Willy. Aku menyukai Willy dengan ketidaktahuanku.
Tiga tahun dia menjadi tempatku
berkeluh kesah tentang apapun kecuali cinta. Ya, kami sering membicarakan film,
pelajaran, politik, guru dan semuanya tapi kami tak pernah membicarakan cinta.
Aku tak tahu Willy menyukai siapa tapi lebih tepatnya aku tidak mau tahu.
”Ver, tiga paket soal ludes.” Willy
sedikit membanting kumpulan soal kimia utuk persiapan ujian nasional di mejaku.
Aku dan Willy bertaruh mengerjakan kumpulan soal setiap malam. Siapa yang paling
banyak dia yang menang. Dan yang kalah membelikan es teh di Bu Mul. Ibu kantin
sekolah kami.
”Serius? Masih bolong-bolong kali.”
Tapi aku senang kau melakukan itu.
”Kamu yang bolong-bolong. Mana?
Katanya mau tiga paket sekaligus. Ternyata belum selesai kan?” Willy tersenyum
puas.
”Willy, aku kan bukan robot.” Aku
berusaha membela diri.
”Dalam taruhan tak ada toleransi
apapun.” Penuh penekanan.
”Oke aku kalah.” Aku menyerah.
Willy tergelak, ”Semangat dong Ver.
Ujian tinggal bentar lagi. Habis itu selesai. Masa-masa sekolah juga selesai.”
Selesai? Iya benar Wil. Semua ini
akan segera berakhir. Aku tersenyum kecut.
Willy kembali tergelak, ”Ditunggu es
tehnya.” Willy kembali mengambil buku kumpulan soalnya dan meninggalkanku.
Mataku masih terus memandangi punggung itu hingga menghilang di balik pintu.
Airmataku masih saja tak kunjung
berhenti mengalir. Sebuah tiket kereta ke Bogor kupandangi lekat-lekat. Disana
cerita baru telah menanti. Teman baru. Dosen baru. Lingkungan baru. Kuliah. Aku
akan meninggalkan kota ini dan... semua kenangannya.
***
”Vera.”
Willy duduk diampingku. Siang itu aula tempat wasana warsa digelar sudah hilang
hiruk pikuknya. Hanya tinggal dua tukang kebun sekolah yang sedang membersihkan
sisa-sisa snack dan kardus makan
siang. Aku masih duduk di tempat yang masih sama sejak pagi tadi.
”Udah wisuda aja nih. Udah nggak
putih abu-abu lagi setelah ini.” Aku mencoba tersenyum sambil memandang kosong
ke bagian banner di depanku
bertuliskan ”Selamat Jalan Siswa-Siswi SMA Bhakti Nusa. Selamat melanjutkan
langkahmu.”
”Ya nggak papa. Berat ya Ver?” Willy
bertanya seolah pertanyaan itu tidak membebaniku sama sekali.
”Terkadang kita memang harus merasa
berat Wil. Kita lama disini. Kita besar disini. Kita...” aku tak punya kalimat
yang tepat untuk melanjutkan. Aku menunduk.
”Hanya tempatnya yang akan berbeda
Ver. Kita pasti masih akan tetap berteman.”
”Sampai kapan?” tanyaku.
”Selamanya.” aku menatap Willy.
Kosong.
”Selamanya?” aku mengeja kata itu.
”Sampai kakek nenek.” Willy tergelak,”sepuluh
tahun lagi saat kita bertemu lagi pasti kamu udah punya anak ya?” Willy bahagia
sekali bertanya seperti itu.
”Mungkin.” Aku memaksa tersenyum.
Tapi dalam hatiku menolak. Aku tak tahu apa yang akan terjadi di masa depan
Wil. Aku hanya ingin tetap begini saat ini. Ada kamu di setiap hariku. Aku
tak pernah berpikir nanti akan seperti
apa.
”Katanya kamu mau ngasih aku
sesuatu? Apa?”
”Aku belum menyelesaikannya.
Beberapa hari lagi ya?”
”Emang apaan sih?”
Aku hanya tersenyum. Diary, Wil. Satu-satunya
teman dimana aku bisa berkisah tentang kamu. Tentang kamu yang setiap saat
hadir. Bahkan di soal-soal kimiaku. Saat ujian coba dan aku tidak satu ruang
denganmu. Saat kita menghabiskan sore bersama di sekolah demi sebuah tugas.
Saat aku tak bisa menjelaskan apapun kecuali namamu.
Siang itu menjadi semakin berat
untukku. Bagaimana selama tiga tahun kita berteman aku mencoba menyimpan
rapat-rapat perasaanku agar tidak merusak persahabatan kita. Agar aku masih
bisa bersamamu. Aku merelakan rasa sakit itu kadang-kadang hadir karena
ternyata bukan aku saja yang menyukaimu. Tapi hingga hari ini aku masih tak
tahu apakah aku harus menyampaikan pesan dari dalam hatiku itu atau
menyimpannya selamanya. Wil, seharusnya kita tak pernah bertemu.
***
”Ver, bisa kita bicara?” Titis
menarikku ke dekat taman sekolah. Rupanya dia ingin membicarakan sesuatu yang
penting.
Titis memegang tanganku,”Ver, aku
tahu tentang perasaanmu ke Willy. Kamu kuat banget Ver bisa menyimpan perasaan
itu. Tapi sekarang saatnya kamu mengakhiri itu semua tanpa harus Willy tahu
tentang perasaanmu Ver. Lupakan Willy, kamu akan sakit.”
Aku hanya menatap Titis, bingung.
”Aku tahu itu sulit Ver. Sebagai
sahabatmu aku nggak mau lihat kamu hancur. Aku sayang kamu Ver. Aku tahu kamu
tulus. Tapi hati kamu tidak seharusnya sakit. Selamatkan hati kamu dari bumerang
itu Ver. Caranya lupain Willy. Lupakan perasaan kamu.” Kali ini Titis
memelukku. Aku tidak menangis tapi hatiku sesak dan sakit.
”Ver..”
”Ya.” Suaraku parau.
”Kamu dan Willy akan berpisah
setelah ini. Aku senang karena hal itu akan memudahkanmu untuk melupakan Willy.
Baiklah, mungkin memang tidak mudah, tapi setidaknya kamu nggak akan melihat
dia lagi. Aku yakin itu akan membuat hatimu lebih baik.”
Aku melepaskan pelukan
Titis,”entahlah.” Aku tertunduk, sakit.
”Kenapa harus begitu?” aku
melanjutkan dengan suara pelan.
”Tika, Ver. Willy bakalan sama Tika.
Yang Willy sukai selama ini Tika. Itulah kenapa aku minta dari dulu kamu jauhi
Willy. Karena kamu bakalan sakit.” Titis memegang pundakku dan memohon.
Pertahananku runtuh seketika. Kali
ini aku menangis karena dinding pertahananku memang sudah hancur. Aku tak tahu
sakit macam apa yang aku rasakan saat itu. Tapi aku ingin seketika tertidur dan
bangun dengan tak ingat apa-apa lagi. Karena aku tak kuat menahan sakitnya.
***
Akhirnya diary ini menemukan
nasibnya. Dia tidak akan sampai pada seseorang yang seharusnya memilikinya.
Pada akhirnya memang tak ada lagi kabar dari Willy. Aku juga tidak mencoba
untuk menghubunginya. Rasanya memang ada yang hilang. Tapi aku telah memutuskan
untuk tidak melanjutkan diary ini. Mungkin pesan di dalamnya akan lapuk suatu
hari nanti. Tapi aku harus bersikap tegas pada hatiku meskipun itu berarti aku
menyakitinya. Ya, aku juga berperan dalam kesakitan ini.
Pada akhirnya aku telah menyukai
seseorang selama tiga tahun lamanya dan tidak pernah aku ungkapkan. Itu
menyakitkan. Tapi aku telah memilih begitu. Bila Willy mengatakan bahwa suatu
saat kami akan bertemu lagi, aku berharap sampai kapanpun aku tidak akan pernah
bertemu dengannya lagi. Aku merelakan dia datang ke dalam hidupku dan kemudian
pergi meninggalkan luka. Tapi aku tak mau sakit dengan melihatnya lagi suatu
hari.
Kereta ke Bogor telah melaju
kencang. Yoyakarta telah beberapa jam yang lalu aku tinggalkan. Sebuah pesan
masuk ke ponselku.
Terima kasih untuk
persahabatan kita selama ini.
Terpampang
jelas di sudut paling atas ponselku tertera nama Willy. Aku menutup pesanku
tanpa kata reply. Terima kasih telah
membuatku
belajar mencintai.